Perjalanan Pertama Menyusuri daerah Jawa

Perjalanan pertama Bujangga Manik mengelilingi Jawa dari tempat ia meninggalkan wilayah Sunda, hanya dinyatakan secara umum, dalam empat bagian yang berbeda. Mula-mula kita diberi tahu bahwa :

Sadatang ka tungtung Sunda meu(n)tasing di Cipamali, datang ka alas Jawa. Ku ngaing geus kaideran lurahlerih Majapahit, palataran alas Demak. Sanepi ka Jatisari datang aing ka Pamalang (baris 80-87)

Sesampai di tapal batas Sunda menyeberangi Cipamali, sampailah ke tanah Jawa. Sudah kususuri daerah-daerah Majapahit, tempat-tempat tanah Demak. Sesampai di Jatisari Tibalah aku di Pamalang.

Pada masa itu jelas wilayah kerajaan Majapahit membentang bertemu batas dengan wilayah Sunda (sungai di Brebes, sekarang masih disebut Kali Pamali) serta meliputi seluruh bagian yang penduduknya berbahasa Jawa di pulau itu, kecuali mungkin daerah Demak. Sungguh mengherankan bahwa daerah Demak, disini disebut terpisah dari daerahdaerah Majapahit. Mungkin ini menunjukkan bahwa Demak telah membentuk pemerintahan tersendiri yang meliputi suatu wilayah tertentu, yang kelak akan menjadi pemerintahan Islam pertama di Jawa. Hal ini akan membawa kita pada perempat terakhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 (De Graaf/Pigeaud, 1974:39), apabila Demak belum berdiri sendiri sebelum menjadi pemerintahan Islam. Tidak ada petunjuk mengenai luas wilayah Demak ini. Kata alas, yang mulanya berarti “hutan”, dalam teks ini maupun dalam teks Sunda kuno dan teks lama lainnya, jelas menunjukkan sebuah satuan wilayah yang luasnya berbeda-beda (bandingkan Eringa, 1949: 217-218): jadi alas Demak adalah bagian dari alas Jawa.

Beberapa contoh dalam teks ini menunjukkan bahwa kata lurah, jabatan bagi kepala desa pada saat ini, dahulu berarti pula sebuah satuan wilayah, tetapi menunjuk sebuah wilayah yang khas: Majapahit terdiri dari beberapa lurah.

Hanya dua tempat yang disebut disini yang dikunjungi Bujangga Manik dalam perjalanannya menyusuri daerahdaerah Majapahit. Jatisari adalah sebuah toponimi yang demikian umum, sehingga usaha mengenalinya (identifikasi) kiranya tidak akan memberi kepastian. Mungkin tempat ini sama dengan tempat yang disebut yang berada pada jalan dari Demak ke Mataram pada awal abad ke-17 (De Graaf, 1958: 5,8).

Pemalang, sebuah pelabuhan kecil di pantai utara Jawa Tengah, adalah tempat Bujangga Manik naik parahu Malaka (b. 93-95), sebuah kapal (dari atau berlayar menuju) Malaka, untuk perjalanan pulang. Disebutnya pelabuhan Malaka yang terkenal itu, yang belum didirikan sebelum tahun 1400 dan menjadi pusat perdagangan yang ramai dalam dekade-dekade berikutnya, menunjukkan bahwa cerita ini tidak mungkin ditulis lebih awal dari (sekitar perempat kedua) abad ke-15 dan tidak mungkin lewat tahun 1511, ketika Malaka dirampas oleh orang Portugis.

Bagian-bagian lain memberi keterangan lebih banyak mengenai tempat-tempat yang dikunjungi Bujangga Manik serta tujuan perjalanannya. Sesampainya di keraton, ia disambut oleh bundanya dengan kata-kata:

“Itu ta eugeun si utun! Ayeuna cu(n)duk ti timur, ayeuna datang ti wetan, datangnya ti Rabut Palah” (b. 169-172)

“Nah, itu dia anakku! Kini ia kembali dari timur, kini ia pulang dari timur, kembali dari Rabut Palah”

Palah telah dikenali oleh Krom (1914: 233-237) sebagai nama kompleks candi besar Panataran di sebelah selatan kaki gunung Kelud di Jawa Timur. Rupanya tempat suci itu secara umum dikenal sebagai Rabut (“dipuja, suci”) Palah. Nama ini terdapat pula dalam sastra Jawa, seperti dalam cerita-cerita Panji (Poerbatjaraka, 1940: 263, Robson, 1979: 310). Pentingnya tempat itu, baik sebagai pusat pemujaan maupun sebagai pusat perguruan, sepenuhnya diperkuat oleh teks kita ini, baik pada bagian ini maupun pada bagian selanjutnya. Disini kata-kata bunda Bujangga Manik menunjukkan bahwa tempat itu diharapkan menjadi tujuan utama perjalanan putranya ke arah timur.

Bujangga Manik sendiri lebih mementingkan tempat lain dari perjalanannya itu (atau haruskah kita mengatakan bahwa perjalanannya mempunyai tujuan lain pula dan bahwa dia ternyata tidak mengunjungi Palah, bertentangan dengan harapan sang ibu?):

Kakara cu(n)duk ti gunung, kakara datang ti wetan, cu(n)duk ti gunung Damalung, datangnya ti pamrihan, datang ti lurah pajaran (b. 593-597)

Baru sampai dari gunung, baru datang dari timur, kembali dari gunung Damalung, pulang dari pamrihan, tiba dari tempat perguruan.

Damalung telah dikenali oleh Krom (1933 II:389) sebagai nama lama gunung Merbabu di Jawa Tengah, sedangkan dari Tantu Panggelaran yang berbahasa Jawa Kuno kita mengetahui bahwa Pamrihan adalah nama lain untuk gunung ini (Pigeaud, 1924: 69, 219). Mungkin “daerah perguruan agama” itu menunjuk pada pemukiman keagamaan di gunung Merbabu dan mungkin pula di sekitarnya, yang telah dikunjungi oleh Bujangga Manik dalam mencari ilmu agama.

Bahwa hal itu merupakan dorongan pertama dalam mengunjungi tempat-tempat ini, terbukti dari hasil-hasil yang telah dicapainya, dalam kata-katanya sendiri, ketika memberitahukan ibunya bahwa ia telah kembali:

Asak beunang ngajar warah, asak beunang maca siksa, pageuh beunang maleh pateh, tuhu beunang nu mitutur, asak beunang pangguran (b. 598-602)

Matang hasil belajar, matang hasil membaca “siksa”, teguh hasil menempa, taat hasil yang mengajar, matang hasil berguru.

Tambahan pula, ia menguasai bahasa Jawa (teher bisa carek Jawa), seperti halnya menguasai isi buku-buku agama (wruh di na eusi tangtu: b. 327-328).

Istilah-istilah yang digunakan disini menunjukkan bahwa pengajaran itu berdasarkan bahan-bahan tertulis, setidak-tidaknya sebagian telah memiliki wawasan yang jelas terhadap etika dan kaidah-kaidah berperilaku dan disajikan dalam bahasa Jawa. Setiap murid “asing” harus menguasai pengetahuan yang baik mengenai bahasa Jawa selama belajar di pusat-pusat perguruan Jawa ini. Cerita Bujangga Manik menunjukkan bahwa kebudayaan Jawa dan pranata-pranata Jawa oleh orang Sunda dipandang sebagai sumber utama bagi pendidikan yang lebih tinggi dalam bidang agama, dan perjalanan ke timur merupakan hal yang biasa dilakukan oleh pemuda Sunda jika hendak menuntut ilmu pengetahuan dan berguru. Perjalanan Bujangga Manik yang pertama menunjukkan usia masa bergurunya. Ia kembali sebagai orang terpelajar yang cakap.

Kembali ke: Bujangga Manik

One thought on “Perjalanan Pertama Menyusuri daerah Jawa

Leave a comment