Catatan

  1. Saya sangat berterima kasih kepada Dr. B. Nothofer atas bantuannya dalam mengenali beberapa tempat di Jawa Tengah bagian utara dan selatan ketika mengunjungi daerah-daerah ini.
  2. Apabila bentuk nama Sunda kuno ini mencerminkan ucapan bahasa Jawa, dan Dhihyang berubah menjadi Dhieng melalui Dhiheng, hal itu merupakan bukti adanya keteraturan relatif mengenai perubahan dua bunyi dalam sejarah bahasa Jawa, karena hal itu menunjukkan bahwa perubahan –ya menjadi –e (mengikuti sebuah konsonan) lebih dulu terjadi daripada luluhnya bunyi –h–.
  3. Nama gunung ini diterangkan oleh Gonda (1973:345) berasal dari bahasa Sanskerta sundara “indah”, yang tampaknya kurang tepat dalam pandangan yang berasal dari bentuk yang lebih tua susundhara seperti diterangkan oleh Kern (1889:289) sebagai susu-n-rara “susu gadis.
  4. Kata umalung, diberikan Cohen Stuart mula-mula sebagai kata lain untuk damalung (1872: 279) dan tiga tahun kemudian sebagai satu-satunya (1875: 36), serta yang kemudian dipetik oleh De Casparis (1975: 96), harus dipandang sebagai kekeliruan, karena huruf pertama kata ini persis sama dengan huruf yang mendahuluinya (da dalam hadi) dan jelas berbeda dengan inisial u dalam kata berikutnya, urip (bandingkan De Casparis 1975, plate X). Pembacaan yang sama umalung dalam inskripsi Kuti, langsung mengikuti “Marani” (Cohen Stuart 1875: 9, Inskripsi II plaat 8b) benar seperti itu, tetapi harus dipandang sebagai kekeliruan tulis untuk damalung dalam salinan yang tidak autentik dari lempengan tembaga ini. Aksara untuk da dan u bentuknya serupa, sehingga keduanya sering membingungkan, seperti dinyatakan oleh Poerbatjaraka (1933b: 16) dengan rujukan pada kasus Damalung/Umalung. Pendapat Krom mengenai hal ini telah diumumkan oleh Rouffaer (1918: 149) berdasarkan pada komunikasi perseorangan, dimana Krom menunjuk kepada Brandes (1913: 266).

Kembali ke: Bujangga Manik

One thought on “Catatan

Leave a comment